Pages

Menyibak Akar Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Sehari sesudah Soekarno dan Muhamad Hatta memproklamirkan bangsa ini pada 17 Agustus 1945, spirit keistimewaan DIJ mulai tumbuh. Ibarat akar sebatang pohon, keistimewaan DIJ terus tumbuh menjalar dari waktu ke waktu. Sebagaimana pohon, akar itulah yang menyangga sebatang pohon tetap kokoh berdiri. Tak berlebihan, jika kemudian banyak kalangan mengatakan keistimewaan DIJ merupakan benteng terakhir dari tegak dan bertahannya NKRI. Tanpa penggabungan diri Kasultanan Jogjakarta dan Paku Alaman, sangat mungkin terjadi enclave atau ada negara di dalam negara. Artinya, tak akan ada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seperti diketahui, peradaban bangsa ini terbentuk oleh serangkaian evolusi zaman kerajaan demi kerajaan. Sebelum tahun 1945, Kasultanan Jogjakarta yang berdiri pada 1755 Masehi juga merupakan kerajaan besar dan merdeka pewaris kejayaan Mataram Islam. Campur tangan pihak kolonialisme Belanda, Jepang dan Inggris adalah bagian dari perjuangan para raja Mataram dan kawulonya. Kesan tunduk raja kepada kolonialisme di zaman itu, bukan berarti seratus persen terjajah. Tetapi, merupakan bentuk perlawanan non fisik agar tak jatuh banyak korban jiwa.

 
Sampai pada masa Sultan HB IX, Kasultanan Jogjakarta adalah bumi merdiko. Sultan HB IX yang naik tahta pada 18 Maret 1940 harus menghadapi pergantian zaman pendudukan Belanda ke Jepang. Tahun 1942, Belanda kalah perang melawan Jepang. Dari tangan Belanda, Nusantara kembali jatuh di tangan penjajahan Jepang. Sementara, Sultan HB IX menolak tawaran pihak Belanda untuk mengungsi ke Australia guna menghindari pendudukan Jepang. Sultan HB IX kukuh memilih tetap bersama rakyatnya dan mengambil langkah langkah penting.

Sultan HB IX segera membenahi struktur pemerintahannya. Kekuasaan yang diberikan oleh Belanda kepada
patih Danurejo, diambil-alih. Lalu dengan berbagai perubahan, Sultan HB IX kembali dilantik oleh Jepang pada 1 Agustus 1942. Diberi wewenang penuh mengurusi pemerintahan kerajaan. Jepang menyebut pemerintahan kerajaan Kasultanan Jogjakarta sebagai daerah istimewa. Dalam istilah Jepang, daerah istimewa disebut kochi. Inikah awal mula lahirnya konsep keistimewaan DIJ?

Benteng Terakhir NKRI

Pada perkembangannya, kepengurusan daerah istimewa atau kochi Kasultanan Jogjakarta diberikan oleh
Kepala Pemerintahan Militer yang dijabat Kepala Staf Tentara Jepang, Gunseikan. Sultan mendapat  kewenangan lebih luas, sehingga pada 1944 kekuasaan yang semula dipegang oleh Pepatih Dalem dipecah menjadi enam jawatan. Pada 1945, jawatan itu dipecah lagi menjadi tujuh jawatan.

Jawatan jawatan itu, oleh Sultan HB IX disebut paniradya. Pejabat kepalanya disebut paniradyapati. Jepang menyebut paniradyapati sebagai kyokuco. Pani berarti tangan dan radya berarti negari atau pemerintahan. Paniradya berarti lembaga pemerintahan di bawah Sultan. Nah, munculnya wacana lembaga pararadya dalam konsep monarkhi konstitusional pada kemelut RUUK DIJ, sudah pasti akan ditolak. Pasalnya, lembaga itu akan menempatkan jabatan Sultan sebagai raja merosot menjadi hanya setingkat patih atau lebih rendah dari gubernur atau kepala daerah.

Berada di bawah pendudukan Jepang, Nusantara semakin tertindas dan sengsara. Namun di Jogjakarta, penderitaan tak separah di tempat lain. Banyak kalangan sejarawan mencatat, kemampuan Sultan HB IX dalam mengayomi rakyatnya telah banyak menyelamatkan nyawa kawulonya. Tak hanya itu, Sultan HB IX bahkan berhasil mendapatkan bantuan Jepang untuk membangun irigasi yang kini terkenal disebut Selokan Mataram.


Sampai pada 18 Agustus 1945, sehari setelah gema proklamasi kemederkaan RI, Sultan HB IX dan Sri
Paduka Paku Alam VIII segera mengirim ucapan selamat dan dukungan kepada proklamator Soekarno-Hatta dan kepada ketua BPUPKI, DR KRT Rajiman Wedyodiningrat. Soekarno segera menanggapi dukungan Sultan HB IX dengan mengirimkan Piagam Penetapan Kedudukan Jogjakarta. Ditanda-tangani oleh Soekarno selaku presiden RI di Jakarta, pada 19 Agustus 1945. Intinya, piagam itu menetapkan Sultan HB IX pada kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sultan HB IX akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Jogjakarta sebagai bagian NKRI.

Menyusul kemudian Maklumat 5 September 1945, yang dibuat secara terpisah oleh Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII. Isinya, Jogjakarta yang berbentuk kerajaan merupakan daerah istimewa dan bagian dari NKRI. Segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Sultan HB IX. Hubungan pemerintahan Jogjakarta dengan pemerintahan NKRI bersifat langsung dan Sultan HB IX bertanggung-jawab kepada presiden RI.

Ketika Badan Komite Nasional Daerah Jogjakarta terbentuk pada 29 Oktober 1945, sehari berikutnya Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII yang menyadari pentingnya kesatuan dan persatuan kembali mengukuhkan integrasi Jogjakarta kepada NKRI dengan membuat secara bersama-sama, Maklumat 30 Oktober 1945. Keistimewaan Jogjakarta pun semakin dipertegas dengan Maklumat No 6/1948 dan Maklumat No 10/1948, yang menyatakan daerah Istimewa Jogjakarta sebagai bekas daerah swapraja sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Keistimewaan DIJ juga kian diperkuat lagi dengan UU No 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta dan jabatan gubernur yang bersifat melekat pada Sultan yang bertahta. Keistimewaan DIJ dengan berbagai landasan yuridis tersebut, bukan sekedar penghargaan kosong tanpa peran. Sejarah di awal terbentuknya NKRI sungguh menampakkan peran besar Sultan HB IX dan rakyatnya dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Ini tampak ketika ibukota negara berpindah ke Jogjakarta karena alasan keamanan pada 3 Januari 1946, yang ternyata kemudian disusul oleh kedatangan Belanda pada 19 Desember 1948. Soekarno-Hatta terpaksa menyingkir lagi ke Bukit Tinggi, Sumatra Barat.

 
Kedatangan Belanda itu mengoyak kemerdekaan RI. Pada saat genting inilah Sultan HB IX beserta rakyat  Jogjakarta tampil sebagai benteng terakhir dari tegaknya NKRI. Selama Belanda berusaha menanamkan kukunya, Sultan HB IX melakukan berbagai strategi gerilya. Tak bergeming dengan tawaran Belanda yang akan menjadikan beliau sebagai raja se-Jawa. Sebaliknya, Sultan HB IX justru menyusun rencana untuk mengadakan serangan terhadap Belanda, yang kemudian terkenal dengan Serangan Umum 1 Maret.

Berbagai langkah Sultan HB IX membuahkan hasil. Belanda kemudian hengkang dari Jogjakarta pada 29 Juni 1949. Peristiwa ini kemudian dikenang dalam Peringatan Jogja Kembali. Lalu, pada 30 Juni 1949, Sultan HB IX membacakan kembali teks proklamasi kemerdekaan RI sebagai wujud kesetiaan kepada NKRI dan pengobaran semangat. Proklamasi kedua itu juga merupakan langkah Sultan HB IX agar kedaulatan RI tetap diakui dunia internasional. Realitas sejarah inilah yang sungguh menempatkan Jogjakarta sebagai benteng terakhir NKRI di awal kelahirannya dan di saat-saat paling gawat. Sementara itu, Soekarno-Hatta baru kembali ke Jogjakarta pada saat keadaan sudah aman pada 6 Juli 1949.

Sumber: derapkaki.multiply.com

1 komentar:

Dwi Wahyudi mengatakan...

Sampai saat ini saya masih merasa heran dengan apa yang telah dilakukan oleh Presiden SBY, kenapa beliau harus sibuk mengurusi sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan bersama di masa lalu. Masih banyak kok urusan di negara ini yang carut marut dan harus dibenahi selain masalah keistimewaan jogjakarta. Masih ada kasus keistimewaan gayus yang sampai detik ini terus menjadi polemik bagi 3 institusi besar yaitu Pemerintah, Kepolisian, dan KPK. Capek deh...

Posting Komentar